Mendung
sore. Awan gelap yang menggelayut memudarkan pesona cerah. Tarik ulur cuaca menyiratkan
pergulatan. Mungkin hujan akan segera turun. Atau mungkin seperti kemarin. Awan
gelap menggantung di angkasa sejauh mata memandang, Tapi, rintik hujan tak jua
kunjung menetes. Sesekali angin bertiup. Entah bersekongkol dengan apa. Apakah
mengantar awan gelap untuk semakin mengumpul atau menghalaunya untuk segera
berlalu. Seharusnya, Sunset bisa nampak saat ini di ufuk barat. Tapi, semburat
sore itu hilang ditutupi awan gelap mendung.
Hhhmmm.
Kenapa tak hujan saja? Mungkin dengan hujan yang turun, tak ada lagi mendung
yang bergelayut menutupi angkasa. Kenapa tak hujan saja? Hujan yang bisa
menghalau kabut-kabut yang menggerogoti setiap sendi. Kenapa tak hujan saja?
Dan setidaknya aku mampu menutupi linang-linang air yang menetes.
Di sore
yang lalu. Mendung sore tak mengusik. Ada begitu banyak mendung namun tak bisa
membuatku menggugat cuaca. Mendung yang lebih hebat dari ini pun tak mampu
menghalau.
Aku,
engkau, kita. Sebuah cerita yang bisa menghapus begitu banyak mendung yang ada.
Aku, engkau, kita. Seharusnya bisa menghalau mereka lagi. Tapi, aku, engkau,
kita. Telah habis cerita. Telah habis makna. Telah habis bahasa. Telah habis
kata. Telah kehabisan inspirasi.
Seharusnya
di mendung yang sama, aku, angkau, kita, bisa menikmatinya. Tarik ulur cuaca
menjadi sebuah drama kolosal. Tarik ulur cuaca yang bisa menjadi sebuah
inspirasi baru. Sayangnya, mendung sama yang pernah aku, engkau, kita lihat
kini berbeda. Semuanya terasa hampa. Bukan aku yang sedang menikmati drama
kolosalnya. Bukan engkau yang menjadi penonton. Bukan kita yang duduk di ujung
dermaga menyaksikan kepungan awan gelap yang menutupi ufuk barat. Yang ada kini
hanya aku seorang yang terduduk lesu. Melihat segalanya begitu keras. Tidak
punya makna. Hampa.
Waktu
terlalu cepat mengusir cerita yang baru saja dirangkai dari kumpulan kata.
Rangkaian puisi yang dirangkai lewat rima dan syair-syair. Puisi yang
seharusnya menjadi buku yang menceritakan tentang aku, engkau, kita. Hanya
tercipta satu halaman dan kehabisan kata menjadi lembaran-lembaran putih.
Aku
pernah begitu menutup diri atas semua manusia yang datang. Aku pernah tertunduk
lesu pada setiap lelaki yang hadir. Aku pernah mengenyahkan jauh-jauh perasaan
yang kadang menggelitik hati karena begitu takut untuk jatuh pada kenangan lama.
Aku pernah membuang jauh-jauh semua perasaan hati yang kutakutkan bisa menguras
habis keping hati. Kepingan karena luka yang lama. Aku pernah kehilangan
segalanya. Segala tentang hati terkubur begitu jauh.
Engkau yang kemudian datang. Menciptakan sebuah gemuruh dan angin topan dahsyat
yang bisa membuatku lupa. Lupa aku harus tetap tertidur dalam kubur yang kubuat
sendiri. Engkau yang datang seharusnya tidak mengusik dunia yang kubangun
dengan begitu senyap. Engkau yang datang tak seharusnya membuatku merasa
kembali hidup. Aku berusaha menghalau, namun tetap tak bisa. Tak mampu. Aku
ternyata berlari untuk segera meninggalkan duniaku. Menujumu. Ke arah dimana
engkau berdiri.
Kini,
segala tentang aku, engkau, kita terkikis gelombang waktu. Semunya berakhir tanpa
mampu kukendalikan. Aku terhempas dengan begitu keras saat gelombang datang.
Aku, yang seharusnya tetap berada dalam dunia kita, terbuang kembali ke dunia
gelap. Sunyi dan senyap. Dan engkau, tetap pada duniamu. Jarak begitu jauh
mengantarai kita. Bahkan untuk sekedar mendengar desahmupun tak bisa kulakukan.
Kita
tinggal cerita.
Untuk
kesekian kali, aku harus belajar mengikhlaskan. Belajar melepaskan. Belajar
bahwa kita akan tetap menjadi sebuah kenangan yang indah meski tak lagi
serumpun.
Kita
berakhir disini.
Mendung
sore. Awan gelap yang menggelayut memudarkan pesona cerah. Tarik ulur cuaca
menyiratkan pergulatan. Mungkin hujan akan segera turun. Atau mungkin seperti
kemarin. Awan gelap menggantung di angkasa sejauh mata memandang. Tapi rintik
hujan tak jua kunjung menetes. Sesekali angin bertiup. Entah bersekongkol
dengan apa. Apakah mengantar awan gelap untuk semakin mengumpul atau
menghalaunya untuk segera berlalu. Seharusnya, Sunset bisa nampak saat ini di
ufuk barat. Tapi, semburat sore itu hilang ditutupi awan gelap mendung.
Air
mata menetes. Aku harus memendam rasa. Rasa yang tak berujung. Air mata
menetes, tapi bukan karena perih. Aku meneteskannya karena aku tersadar,
keindahan rasa ini terlalu anggun hanya untuk sekedar dilupakan. Aku meneteskan
air mata, karena itu caraku melepas beban. Melepas asa yang mungkin tak teraih.
Meneteskan airmata menjadi sebuah syarat. Betapa semuanya begitu sayang untuk
kubuang.
Aku,
engkau, kita. Sebuah cerita yang bisa menghapus begitu banyak mendung yang ada.
Aku, engkau, kita. Seharusnya bisa menghalau mereka lagi. Tapi, aku, angkau,
kita. Telah habis cerita. Telah habis makna. Telah habis bahasa. Telah habis
kata. Telah kehabisan inspirasi.
Tapi, aku, engkau, dan kita akan tetap ada dalam sejarah pergulatan cuaca.
Cuaca dimana awan menggelantung pada hati yang tak terdefinisi.